Liputan6.com, Jakarta - Jagat perpolitikan nasional diramaikan sikap Partai Demokrat usai memberikan dispensasi kepada kadernya di daerah yang terang-terangan mendukung pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Padahal di atas kertas, Demokrat menjadi partai pengusung bakal capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pemberian dispensasi ini pertama kali diungkap oleh Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Imbas dari dispensasi itu, Demokrat dicap bermain politik dua kaki. Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi, mencoba melihat dan menganalisis langkah Demokrat ini. Ada dua hal yang menjadi perhatiannya. Pertama, langkah Demokrat didasari kekecewaan dalam proses koalisi dengan Prabowo-Sandiaga. Partai berlambang bintang mercy itu pun mulai realistis. Berkoalisi dengan Prabowo-Sandiaga, Partai Demokrat tak dapat apa-apa. Rencana menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bakal cawapres Prabowo justrupupus di tengah jalan. Begitu pula dengan posisi ketua timses, Prabowo lebih mempercayakannya kepada mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso. "Demokrat hanya sebagai penggenap dukungan," kata Muradi saat berbincang dengan merdeka.com, Rabu, 12 September 2018. Karena kecewa, manuver ini juga bisa mengindikasikan Demokrat ingin "balas dendam". Dispensasi bagi kader mendukung Jokowi-Ma'ruf dilatarbelakangi kepentingan memuluskan AHY dalam Pilpres 2024. Dengan memberikan dispensasi, Demokrat berharap bisa mendulang suara besar di wilayah yang menjadi kantong pendukung Jokowi-Ma'ruf dalam Pileg 2019. Tujuannya agar Demokrat punya modal mengusung AHY di Pilpres 2024. "Menyangkut soal political revenge, kemudian Demokrat merasa dikecewakan. Artinya dalam bahasa politik kongsi. Ini bisa jadi untuk persiapan Pilpres 2024. Tahunnya Demokrat bukan 2019, tapi 2024," jelas Muradi. Demokrat mengonfirmasi, sekitar 23 DPD meminta partai berkoalisi dengan Prabowo-Sandi. Sisanya, 11 DPD kemungkinan bersuara sebaliknya, menginginkan partai mendukung Jokowi-Ma'ruf. Menurut analisis Muradi, jika 11 provinsi merapat ke Jokowi-Ma'ruf, maka bisa menjadi daya tawar. Bila Jokowi-Ma'ruf menang di Pilpres 2019, Demokrat berpotensi mendapat "perahu baru" untuk berlayar menuju Pilpres 2024. "Dengan menyisakan katakanlah 11 provinsi tidak mendukung Prabowo buat bargain, 11 dukung Jokowi. Jika Jokowi menang bisa menjadi sekoci politik," paparnya. Analisis kedua, Muradi juga melihat sikap 11 DPD menggambarkan kondisi di internal Demokrat. Terjadi pembangkangan atas keputusan pengurus pusat partai mengusung Prabowo-Sandi. Perpecahan diprediksi bakal terjadi di tubuh Demokrat andai 11 DPD ini dilarang mendukung Jokowi-Ma'ruf. "Ini bisa bentuk pembangkangan politik orang-orang yang kemudian dianggap merapat Demokrat tidak demokratis. Kalau dilarang akan pecah," terangnya. Jika Jokowi-Ma'ruf memenangkan pertarungan Pilpres, kondisi ini akan menjadi pukulan bagi Demokrat. Muradi menerangkan, 11 DPD akan menuntut Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar mengelola partai lebih demokratis dan profesional. Hal ini dikarenakan Demokrat sejak awal ngotot mencalonkan AHY menjadi cawapres. Padahal ada kader-kader potensial seperti Gubernur Jawa Timur Soekarwo atau Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Majdi. "Pak Jokowi menang maka 11 DPD akan menuntut pengelolaan Partai Demokrat yang lebih profesional dan demokratis. Ini bisa jadi back fire bagi Demokrat," tandasnya. Let's block ads! (Why?) https://ift.tt/2Mp9fpP |
0 Comments:
Post a Comment