Thursday, September 13, 2018

Mengatasi 'Bolong' Investasi Asing demi Jaga Rupiah

Jakarta, CNN Indonesia -- Neraca pembayaran kini tengah jadi sorotan. Apalagi kalau bukan hubungannya dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kian mengkhawatirkan.

Tak heran, sebab neraca pembayaran berkaitan langsung dengan cadangan devisa (cadev) yang dimiliki Indonesia. Adapun, devisa dibutuhkan bagi otoritas moneter untuk melakukan intervensi permintaan dan penawaran valuta asing (valas) demi menjaga stabilitas nilai tukar.

Jika neraca pembayaran tak mumpuni, sudah pasti rupiah rentan mengalami gejolak.

Sepanjang tahun ini, rupiah sudah melemah 9,07 persen ke level Rp14.785 per dolar AS. Rupiah bahkan sempat mencapai titik terendahnya di level Rp14.940 per dolar AS.

Tak hanya soal neraca dagang, Bank Indonesia juga menyoroti lemahnya pertumbuhan investasi langsung asing sebagai biang keladi defisit neraca pembayaran.


Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara merinci sampai paruh pertama tahun ini, aliran investasi langsung asing hanya sekitar US$5,4 miliar. Meski mencatat nilai positif, ia menganggap angka ini lebih kecil dibandingkan 2016 sebesar US$16,1 miliar dan 2017 sebesar US$19,4 miliar.

Menurut Mirza, lemahnya investasi langsung asing tak bisa mengimbangi defisit transaksi berjalan yang mencapai US$8 miliar hingga akhir kuartal dua kemarin. Kondisi ini juga diperparah dengan investasi portofolio yang minus US$1,1 miliar akibat terjadinya aliran modal keluar (capital outflow).

"Hal ini membuat Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk sedikit melambat dibandingkan tahun sebelumnya, meski dari sisi positif, sebetulnya pemerintah terus berusaha mendatangkan PMA untuk masuk ke Indonesia," ujar Mirza.

Untuk itu, menurut dia, pemerintah perlu mendatangkan investasi langsung asing agar neraca pembayaran sedikit terdongkrak.

(Dok. Bank Indonesia).

Kendati demikian, pemerintah di sisi lain harus berhati-hati dalam mendatangkan investasi langsung asing. Sebab, derasnya investasi asing yang masuk juga bisa mendatangnya mudharat bagi neraca pembayaran itu sendiri.

Ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menjelaskan neraca pembayaran terdiri dari dua komponen utama, yakni transaksi modal dan finansial serta transaksi berjalan. Adapun, transaksi berjalan terdiri dari neraca perdagangan, neraca pendapatan primer, dan neraca jasa.

Di satu sisi, memang benar bahwa investasi langsung asing membawa manfaat bagi transaksi modal dan finansial, sebab ada dana yang mengalir masuk ke Indonesia. Namun di sisi lain, banyaknya investasi langsung asing bisa berdampak buruk bagi transaksi berjalan.

Piter beralasan, defisit transaksi berjalan memiliki komponen pendapatan primer, yakni dividen atau imbal hasil dari investasi di Indonesia. Investasi langsung asing tentu akan menarik imbal hasilnya dari Indonesia ke negara di mana penanam modal berasal. Sehingga, di saat yang bersamaan, investasi langsung juga bisa menjadi biang kerok keluarnya aliran modal.

Ia kemudian mencermati neraca pembayaran kuartal dua yang menunjukkan bahwa investasi langsung asing sebesar US$5,4 miliar tak sebanding dengan arus keluar pendapatan primer yang mencapai US$8,2 miliar.

"Indonesia selalu defisit di neraca transaksi berjalan karena defisit di pendapatan primer, namun ini tidak sebanding dengan modal langsung yang masuk. Outflow-nya tidak bisa ditutupi dengan inflow, sehingga mau tak mau neraca pembayaran negatif," jelas Piter.


Alih-alih fokus mendatangkan investasi langsung asing, pemerintah justru perlu menyasar pengendalian arus pendapatan primer. Menurut Piter, langkah itu cukup efektif dalam menjinakkan neraca pembayaran di tengah seretnya investasi langsung asing.

Maka, pemerintah harus membuat regulasi agar imbal hasil dari investasi langsung tak keluar seketika dari Indonesia. Caranya, adalah memaksa sebagian imbal hasil investasi langsung agar kembali diinvestasikan di Indonesia.

Ia mencontohkan, selama ini arus pendapatan primer selalu membebani transaksi berjalan sebesar US$8 miliar per kuartal, atau US$32 miliar per tahun. Jika pemerintah memaksa 25 persen dari jumlah tersebut untuk reinvestasi, setidaknya neraca pembayaran Indonesia tidak perlu boncos US$8 miliar per tahunnya.

"Yang perlu dilakukan adalah pengaturan modal masuk. Selama ini Indonesia mendewakan modal asing masuk, tapi ini strategi keliru karena menggerogoti defisit transaksi berjalan. Indonesia memang butuh modal asing, tapi bukan berarti tidak ada kemampuan tawar menawar," ujar dia.

(Dok. Bank Indonesia)
Kendati demikian, ia tak menampik bahwa kebijakan ini bisa mengurangi arus investasi langsung asing ke Indonesia. Apalagi, investasi merupakan komponen penting di dalam Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga bisa jadi kebijakan ini malah menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Namun, ia mengingatkan bahwa reinvestasi punya dampak baik dalam jangka panjang. Jika neraca pendapatan primer membaik, maka defisit transaksi berjalan semakin mumpuni. Ujungnya, neraca pembayaran bisa kembali sehat sehingga serangan depresiasi bisa dilumat habis.

Defisit transaksi berjalan stabil diiringi nilai tukar yang mulus dan fundamental makroekonomi yang kuat diyakini menjadi daya tarik investasi luar biasa di kemudian hari. Makanya, pemerintah harus berani kekurangan investasi langsung asing dalam jangka pendek, tetapi bisa mendulang investasi yang lebih banyak di jangka panjang.

"Transaksi berjalan yang surplus ini menyebabkan rupiah lebih stabil, diikuti dengan fundamental yang baik akan menjadi daya tarik yang kuat agar investasi kembali masuk. Pemerintah harus tetap fokus, bereskan lingkaran setan neraca pembayaran ini dulu," papar Piter.


Setali tiga uang, ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengatakan Indonesia harus punya regulasi khusus mengenai reinvestasi imbal hasil investasi langsung asing. Namun, alih-alih pemaksaan, investor sebaiknya diberikan insentif, seperti keringanan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) badan.

Selain mengurangi beban neraca pembayaran, reinvestasi memberikan efek pengganda yang jitu seperti pembukaan lapangan kerja hingga kenaikan pendapatan masyarakat. Kendati demikian, kebijakan reinvestasi bisa berjalan dengan baik kalau iklim investasi domestik juga stabil.

"Bicara iklim investasi baik ini banyak faktornya, seperti indikator makroekonomi, kondisi politik, kepastian hukum, regulasi, dan lainnya. Intinya jika kemudahan berbisnis dibenahi, saya yakin reinvestasi bisa berjalan baik," papar dia.

Di samping itu menurutnya, investasi langsung asing di jangka panjang memang penting untuk menopang neraca pembayaran. Ini mengingat investasi portfolio tak bisa diharapkan. Gampang masuk, gampang juga keluar dari Indonesia.


Makanya, kebijakan mengenai regulasi investasi langsung asing ini perlu diperhatikan pemerintah. "Defisit di transaksi berjalan, misalnya, memang patutnya disembuhkan dengan arus investasi langsung asing," jelas David.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengaku defisit pendapatan primer juga menjadi salah satu perhatian pemerintah dalam membenahi defisit transaksi berjalan. Pemerintah pun menurut dia, sebenarnya sudah mengeluarkan kebijakan yang diharapkan juga mampu menjadi 'obat' defisit neraca pendapatan primer.

"Dividen itu konseksuensi dari kita terima modal asing. Kalau mereka buka pabrik di sini, lalu untung, sebagian pasti mereka bawa pulang. Itu bukan untuk ditahan tidak boleh keluar, tapi kami berikan kenyamanan sehingga mereka reinvestasi di sini, di antaranya lewat tax holiday dan tax allowance," ungkap dia.

Kendati demikian, Suahasil mengaku insentif pajak tersebut tak akan instan membuat neraca pendapatan primer kembali seimbang. Dibutuhkan waktu, untuk melihat dampak dari kebijakan tersebut. (agi)

Let's block ads! (Why?)



via CNN Indonesia https://ift.tt/2xcOXKz
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Frss&max=3, then Send me an em


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT
Share:

Related Posts:

0 Comments:

Post a Comment