Saturday, September 15, 2018

Musik dan Jalan Panjang Pemberontakan Harry Roesli

Jakarta, CNN Indonesia -- Nama Harry Roesli tak bisa dilepaskan sebagai salah satu musisi legendaris di belantika musik Indonesia. Ia disebut-sebut sebagai tokoh yang melahirkan budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif, dan gencar menyuarakan kritik sosial.

Harry bahkan mengantongi rekor sebagai Profesor Pendidikan Musik Pertama di Indonesia yang diberikan oleh Museum Rekor Indonesia.

Namun untuk dapat mencapai tahap tersebut, jalan yang dilaluinya tidak mudah. Ia bahkan sampai melakukan pemberontakan ke keluarganya.

Ayahnya, Roeshan Roesli merupakan seorang Mayor Jenderal Purnawirawan TNI dan ibunya, Edyana yang seorang dokter tak memberi restu bila Harry memilih jalan sebagai musisi. Keinginannya bermusik dianggap tidak memiliki masa depan.

Terlebih, tiga orang kakak Harry memilih mengikuti jejak sang ibu untuk menekuni profesi sebagai dokter.

"Waktu dia menentukan mau di musik wah itu ramai. Bapak sama Ibunya tidak setuju, tapi dia dibela oleh kakak-kakaknya, 'Kalau dia bahagia di musik, ya biarkan saja.'" ungkap Kania Perdani Handiman, istri Harry, saat ditemui di kediamannya di Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu.


Berkat bantuan para kakaknya, pemilik nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli ini akhirnya berhasil meluluhkan hati orangtua. Ia mengantongi izin untuk dapat bermusik dengan syarat pendidikan tetap berjalan.

Namun bagi Kania, momen pemberontakan sang belahan jiwanya itu tak pernah ia lupakan. Menurutnya, itu sesuatu hal yang tak pernah dilakukan Harry sebelumnya, sosok yang juga dikenal sebagai putra bungsu penurut dan begitu dimanjakan.

"Akhirnya ambil jalan tengah, 'kamu boleh ambil musik, tapi kamu harus punya ijazah, sekolah.' Makanya dia ke Belanda, tapi itu sempat ramai. Betul belum pernah saya lihat dia berontak sama orangtuanya. Di garasi teriak-teriak," kenang Kania.

Harry Roesli kala muda. Harry Roesli kala muda. (Dok. Pribadi)
Dalam bermusik, kata Kania, suaminya banyak dipengaruhi oleh musisi barat seperti Rolling Stone, Frank Zappa, Gentle Giant, serta John Milton Cage Jr.

Pria kelahiran Bandung 10 September 1951 itu bahkan pernah membentuk band bernama Batu Karang, mengikuti gaya band rock Rolling Stone di tengah tren grup The Beatles yang lebih banyak digandrungi kala itu.

Sementara untuk menciptakan karya, Harry disebut kerap menggunakan ragam alat musik seperti gamelan, gitar, keyboard, harmonika, perkusi, dan sesekali biola.

Namun tak pernah ada waktu khusus untuknya 'bersemedi' membuat lagu. Kata sang istri, Harry selalu "mengalir" dalam membuat karya, kapanpun dan di manapun ia dapat ide.


Harry mulai serius terjun ke dunia musik sejak awal 1970-an, kala mulai menduduki bangku kuliah ITB Bandung jurusan Teknik Mesin. Ia membentuk grup bernama Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A Rachman, yang kemudian melahirkan sebuah album bertajuk Philosophy Gang pada 1971.

Bagi salah satu personelnya, pembentukan grup itu meninggalkan banyak misteri. Hanya Harry seorang yang tahu segala hal di baliknya, termasuk pemilihan nama band, perilisan album, bahkan honor para personel.

"Dia ini orang yang agak nyeleneh, musiknya juga lain dari yang ada. Dan kalau kita lihat sosok orangnya sih banyak misteri. Seperti kalau main musik, kita enggak pernah dikasih tahu sama dia sebenarnya dibayar atau enggak, tapi tahu-tahu dapat honornya," ungkap Indra.

Pada satu hari, Indra akhirnya mengetahui bahwa sejumlah penampilannya bersama Gang of Harry Roesli tidak melulu mendapatkan honor. Menurut rekan-rekan Indra, mereka mendapat honor dari kocek Harry sendiri.


Dua personil Gang of Harry Roesli saat perilisan ulang album Philosophy Gang. (kiri) Harry Pochang, (kanan) Indra Rivai.Dua personil Gang of Harry Roesli saat perilisan ulang album Philosophy Gang. (kiri) Harry Pochang, (kanan) Indra Rivai. (CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Kala masuk ke dapur rekaman, Indra juga menyebut hal tersebut hanya Harry yang tahu. Para personel hanya diminta latihan tanpa terkadang tahu lagu atau lirik yang akan dibawakan.

"Sampai akhirnya kami berangkat ke Jakarta, tidur di rumahnya. Rekaman ngulik di sana, lalu berunding nama bandnya ini itu. Dia hanya diam. Ketika albumnya selesai, tiba-tiba sudah tercetak nama Gang of Harry Roesli," kenangnya.

"Enggak ada yang protes, wong sudah jadi album dan cover-nya," lanjut Indra.

Misteri lain yang ditinggalkan Harry menurutnya adalah kala proses mixing album itu di Singapura. Zaman itu, kata Indra, bisa melakukan proses mixing di luar negeri merupakan sebuah gengsi besar di kalangan musisi.


"Dia bilang mixing di Lion Record di Singapura, karena dulu kan gaya juga bisa sampai di sana. Namun lama-lama ketahuan kalau Lion Record itu enggak ada, itu hanya toko kelontong di sana," kata Indra.

"Dia emang konyol, dulu tuh buat kita bisa rekaman di studio terkenal seperti Musica sudah cukup, tapi ya dulu kan keren aja mungkin bisa sampai ke luar negeri," lanjutnya.

Terlepas dari proses rekaman album yang meninggalkan banyak misteri, Indra mengatakan bahwa Harry merupakan sosok musisi yang selalu memiliki pemikiran 'out of the box.' Dia sendiri mengakui bahwa meski misterius, kawannya itu adalah sosok yang genius.

Dirinya sendiri tak menyangka soal betapa hebatnya Harry menciptakan lagu Malaria yang berupa protes tapi tidak secara vulgar.

"Lalu ada lagi Roda Angin, liriknya 'kubernyanyi untuk orang tuli', kemudian 'menari untuk yang buta/ apa kau gagal/ apa dia gagal/ apakah aku gagal?' Dia seperti menceritakan tentang kesia-siaan," katanya.


Harry Roesli kala masih menempuh studi di luar negeri.Harry Roesli kala masih menempuh studi di luar negeri. (Dok. Pribadi)

Gang of Harry Roesli hanya bertahan selama lima tahun karena Harry mulai fokus dengan dunia teater lewat 'Teater Ken Arok.' Setelah itu, Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Belanda.

Selama belajar di Negeri Kincir Angin, Harry juga aktif bermain piano di berbagai restoran Indonesia dan 'nge-band' dengan komunitas keturunan Ambon yang tinggal di sana.

Kegiatan itu dilakukan Harry untuk menambah pemasukan demi menyambung hidup selain dari menyalurkan naluri bermusiknya.

Gelar doktoral untuk musik diraih Harry pada 1981. Namun tak sampai di situ, ia terus melahirkan berbagai karya musik dan teater, serta mengajar seni musik di sejumlah perguruan tinggi.

Di sisi lain, musisi yang wafat pada 11 Desember 2004 itu juga mendirikan komunitas guna membina para seniman jalanan lewat Depot Kreasi Seni Bandung. Rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan sebagai markas DKSB.

Selain sebagai markas DKSB, pada 1998, rumah itu juga menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung. Di sana pula Harry kerap melahirkan karya-karya yang sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru.

Sepeninggal kepergiannya, keluarga memutuskan untuk mengedepankan nama Rumah Musik Harry Roesli demi memperkenalkan nama sang legendaris pada generasi selanjutnya.

"Satu hal yang belum terwujud itu, dia ingin buat kampus musik. Dengan pengalamannya pernah ditentang orangtua karena musik, dia ingin membuktikan bahwa lewat musik orang bisa hidup, bisa berprestasi. Dia ingin sampaikan itu pada orang-orang yang bernasib sama," kata Layala Khrisna Patria, putra Harry Roesli.

[Gambas:Youtube] (end)

Let's block ads! (Why?)



via CNN Indonesia https://ift.tt/2CXw2JK
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Frss&max=3, then Send me an em


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT
Share:

Related Posts:

0 Comments:

Post a Comment