Jakarta, CNN Indonesia -- Layala Khrisna Patria menunjuk sebuah ruangan di Rumah Musik Harry Roesli kala kami datang berkunjung ke sana, tepat di hari ulang tahun sang musisi legendaris tersebut, 10 September. Ruangan sekitar 3x4 meter di belakang rumah tersebut punya kisah penting bagi musisi legendaris yang memiliki filosofi nyentrik itu. Tempat itulah ruang kerja sang musisi. Di ruangan tersebut, sebuah rak sederhana setinggi 1,5 meter berdiri diam di tepi dinding. Buku-buku koleksi Harry yang kertasnya menguning tanda termakan usia berdiri berjejer di tiga tingkatan rak itu. Buku-buku itu masih sama seperti terakhir kali pemilik sahnya meninggal pada 11 Desember 2004 lalu. "Di sini dulu ruangan kerja bapak," kata Layala.
Ruangan kerja itulah lokasi Harry Roesli mengumpulkan berbagai inspirasi dan informasi yang menggugah insting musiknya untuk membuat lagu. Di tempat itu pula, Layala mengenang ia dan ayahnya sering rebutan koran.Setiap pagi, Harry semasa hidupnya selalu memulai hari dengan mengambil tiga koran harian yang diantar loper ke rumah. Koran itu wajib ia baca terlebih dahulu, bahkan bila sedang dibaca anaknya, tak segan ia merebut. "Setiap pagi kehidupannya rebutan koran. Dia baca koran di depan kamar ini sambil sarapan," kata Layala. "Tapi itu kalau bapak tidak ada jadwal tampil. Dulu kan kalau ada job [terutama di Jakarta], dari Subuh sudah harus jalan karena belum ada tol," lanjutnya. Kebiasaan Harry membaca buku-buku dan koran di ruangan itulah yang disebut Layala menjadi bahan untuk mencari inspirasi. Meskipun kini, sebagian ruangan itu telah dibongkar dan dijadikan tempat beristirahat anak jalanan yang tinggal di sana atau bagi tamu yang datang.  Harry Roesli kala muda dikenal berasal dari keluarga terpandang. (Dok. Pribadi) | Sementara itu istri Harry, Kania Perdani Handiman, menyebut kebiasaan membaca menjadi latar sikap kritis sang suami ditambah dengan rasa keingintahuannya yang tinggi karena memiliki masa kecil yang terkekang.Harry Roesli lahir dari keluarga yang protektif, seorang anak Mayor Jenderal TNI Roeshan Roesli. Harry muda dikenal Kania sebagai anak rumahan yang amat diawasi pergaulan dan aktivitasnya. Menjadi anak yang 'terkurung di rumah' dan serba dikendalikan ternyata membuat Harry kelaparan untuk mencari tahu berbagai hal. Hanya buku-buku yang bisa ia 'lahap' kala itu. "Selama ini dia tinggal di 'istana', hidup mewah. Jadi begitu dia keluar dari 'benteng kerajaannya', dia melihat hal yang berbeda dengan apa yang ia ketahui di rumah," kata Kania. Harry juga amat memerhatikan lingkungannya di luar rumah. Salah satunya, Harry sempat memerhatikan seragam seorang teman di sekolah. Saking memerhatikannya, ia tahu temannya itu hanya memiliki satu seragam karena ada bercak noda di saku seragam temannya itu. Hal-hal sepele tersebut yang diyakini Kania membuat Harry bertanya-tanya akan kehidupan dan berkecamuk dalam pikirannya. Kania juga menyebut Harry akan terus mencari tahu jawaban dari pertanyaannya tersebut, setidaknya dia harus mengetahui penyebabnya. "Jika dia tahu penyebabnya satu hal yang tidak benar, dia akan berbuat sesuatu," kata Kania. Kekritisan dan pertanyaan Harry juga sebagian besar tertuang melalui karya-karyanya. Ia pun dikenal sebagai musisi yang aktif menyuarakan kritik atas kondisi sosial di Indonesia. Salah satu lagu yang terkenal adalah Malaria (1973), karyanya bersama band yang ia gawangi, Harry Roesli Gang, dalam album Philosophy Gang. Pengamat musik mendiang Danny Sakrie menyebut lagu tersebut adalah metafora potret Indonesia. Kekritisan Harry Roesli akan keadilan sosial juga membuat pemerintah gerah. Pada 1998, Harry Roesli pernah mendapatkan 'perhatian' lebih dari pemerintah lantaran selalu menggunakan video berisi kumpulan artikel tentang tragedi Trisakti di setiap penampilannya.  Harry Roesli kala manggung. (Dok. Pribadi) | "Saat itu media besar memberitakan seakan-akan di video ketahuan siapa yang tembak. Sejak itu bapak diteror terus, setiap manggung jadinya dipakaikan anti peluru," kata Layala."Takut banget pas itu, karena kami tahu niat bapak hanya mencurahkan kejadian itu tapi orang-orang menyikapinya sampai mau membunuh," lanjutnya. Tanda Cinta Kania memahami sekali akan pemikiran sang suami. Harry dikenal fokus pada kondisi sosial, terutama budaya dan demokrasi. Menurut Harry, kata Kania, budaya adalah identitas bangsa. Karena pemahaman dan keteguhan itulah, Harry kerap menuai kritik. Walaupun kadang takut, Kania dan anak-anaknya menilai hal tersebut merupakan risiko menjadi seorang Harry Roesli yang idealis. "Kalaupun dipenjara juga lebih terhormat jadi tahanan politik bukan kriminal. Memang itu harus dilalui, pasti ada halangannya, pasti ada orang yang enggak suka. Tapi buat kita yasudah. Namanya orang berjuang pasti ada risiko," kata Kania. "Kalau saya menyikapinya begini, orang melihat kritisnya bapak sebagai kritik, tapi sebenarnya itu karena cinta. Tanda kecintaan dia, dia kritik karena enggak mau negara begini. Liat negara lain bisa di sini enggak," timpal Layala. Layala menyebutkan sejatinya Harry Roesli juga selalu menunjukkan tanda cintanya kepada publik Indonesia kala masih menjadi pesohor, yaitu dengan penampilan serba hitam. "Buat dia Indonesia masih berduka, dan hitam itu juga warna keadilan, seperti hakim dan jaksa pakai hitam," ungkap Layala. Tidak hanya pihak keluarga, sahabat Harry yang juga pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno juga mengatakan bahwa kritik yang disampaikan merupakan tanda cinta sang musisi.  Pakaian hitam yang kerap dipakai oleh Harry Roesli menyimbolkan keprihatinannya. (Dok. Pribadi) | Keduanya mulai bekerja sama sejak 1983 kala memproduksi lakon Opera Ikan Asin. Sejak itu, Harry banyak terlibat dalam produksi Teater Koma.Sekali waktu, kata Nano, karena kritiknya Harry sempat dipenjara di Semarang. Nano tak ingat persis tahun penangkapan Harry. Namun, satu yang ia ingat Harry saat itu tak peduli. "Intinya, dia kritik pemerintahan karena ada yang tidak beres bukan karena benci tapi cinta. Orang lain mana berani kritik," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon di kesempatan terpisah. (end) Let's block ads! (Why?) via CNN Indonesia https://ift.tt/2xdZ6at |
0 Comments:
Post a Comment