Thursday, September 6, 2018

Blusukan Ma'ruf Amin dan Strategi Kapitalisasi Suara Santri

Jakarta, CNN Indonesia -- Bakal calon wakil presiden Ma'ruf Amin mengunjungi sejumlah pondok pesantren yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur beberapa khir-akhir ini.

Tujuan Ma'ruf ke sana dinilai untuk silahturahmi sekaligus mengamankan ceruk suara para kiai, ulama, dan santri di Pilpres 2019. Diketahui pesantren yang dia sambangi kebanyakan berafiliasi dengan Nadhatul Ulama (NU).

Dalam kunjungan itu pendamping bakal capres petahana Joko Widodo ini mengklaim telah memperoleh dukungan dari kiai-kiai sepuh di Jawa Timur. Beberapa di antaranya, yakni pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang Solahuddin Wahid atau Gus Solah, Pengasuh Ponpes Sunan Drajat di Lamongan Abdul Ghofur, dan para kiai di Ponpes Bahrul Ulum Tambak Beras.

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mengamini pernyataan Ma'aruf bahwa dia didukung oleh kiai-kiai di pesantren. Hal itu memamg sudah menjadi tugas Ma'aruf untuk meraih suara umat islam, kiai, dan santri di Pilpres 2019.

Ma'ruf, kata Adi, hanya bisa melakukan kapitalisasi suara di kalangan umat muslim, khususnya pesantren. Dengan begitu upaya Ma'ruf bersilaturahmi ke pesantren bakal efektif untuk menjaring suara para santri. Pasalnya pesantren-pesantren NU memiliki budaya sami'na waato'na (kami mendengar dan kami taat) kepada para kiai mereka.

Kendati begitu, suara santri tidak akan sepenuhnya bulat mendukung Ma'ruf. Terdapat beberapa celah yang menjadikan suara santri khususnya santri NU tidak bulat mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Hal ini lantaran perbedaan mekanisme di hari pencoblosan. Jika dulu para santri bisa dikerahkan 100 persen untuk satu pasangan calon tertentu karena TPS berada di pesantren, maka sekarang berbeda.

"Cuma santri kan sekarang dipulangkan ke rumahnya untuk memilih (menyoblos), ini bisa menjadi celah santri untuk berpindah suara," kata Adi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (5/9).

Karakter santri yang merupakan swing voters atau pemilih mengambang, kata Adi, juga berperan penting membuat tidak bulat mendukung Ma'ruf. Adi melihat Ma'ruf harus waspada dengan hal itu apabila ingin menggaet 100 persen suara santri.

Selain itu, karakteristik dari santri dan kiai di pesantren yang merupakan golongan NU kultural juga berkontribusi membuat suara mereka tidak bulat mendukung Ma'ruf.

Adi melihat posisi Ma'ruf sebagai seorang Rais Aam tidak begitu berpengaruh dalam mengubah haluan suara santri dan kiai NU. Pasalnya Ma'aruf berada di tataran NU struktural, sementara para santri dan kiai di pesantren kebanyakan berada di tataran kultural. Menurut Adi, para kiai di tataran kultural ini tidak terlalu suka berpolitik dan menyampaikan agenda politik kepada santri mereka.

Adi melihat meski Ma'ruf mengunjungi pesantren-pesantren, para kiai di sana cenderung tidak akan terus menerus memberikan wejangan kepada para santri mereka untuk memilih pasangan Jokowi-Ma'ruf. Alhasil suara santri kemungkinan besar dapat disusupi atau diarahkan oleh pasangan calon lain.

"Kiai ini tidak berpolitik, yang tidak bergeriliya meminta santrinya terus-terusan untuk memilih satu kandidiat tertentu. Kiai ini sukanya kan ngaji," terang Adi.

Menurut Adi tidak bulatnya suara santri mendukung Ma'ruf juga tercermin di hasl Pilkada serentak 2018. Diketahui, PKB dan PPP, yang dikenal sebagai partainya warga NU, tidak mendapat raihan positif di Jawa Timur.

Padahal Jawa Timur sarangnya para Nahdiyin. Hal itu yang mencerminkan suara santri NU berpotensi tidak bakal sepenuhnya mendukung Ma'ruf. Bahkan kemungkinannya masih 50 banding 50.

Blusukan Ma'ruf dan Strategi Kapitalisasi Suara SantriBakal pasangan capres dan cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari).
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun pun juga menilai serupa. Karakteristik NU yang terbagi dalam beberapa golongan menjadikan upaya Ma'ruf blusukan ke pesantren kemarin tidak sepenuhnya efektif menjaring suara santri secara utuh.

Hal itu tergambar dari beberapa Pemilihan Umum sebelumnya. Misalnya saja pada Pilpres 2004 Megawati Soekarnoputri yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi tetap menelan kekalahan. Padahal saat itu Hasyim adalah seorang Ketua Umum PBNU yang notabenenya seorang kiai yang dihormati dan didengar oleh para Nahdiyin.

"Keragaman basis massa itu membuat pilihan mereka tidak akan seragam," jelas Ubed.

Ubed mengatakan tim kampanye Jokowi-Ma'ruf masih harus bekerja keras guna mengamankan suara santri. Mengingat ketokohan Ma'ruf sebagai seorang Rais Aam PBNU tidaklah cukup untuk mengamankan suara santri.

Tak Cukup Sekali Blusukan

Mengenai potensi suara santri yang tidak bulat, Adi menambahkan kembali, bahwa Ma'ruf harus lebih intensif mengunjungi pesantren-pesantren. Tujuannya guna menjaring suara para santri dan kiai secara penuh. Para santri tidak cukup hanya sekali didatangi kemudian menjadi loyal dan manut untuk memilih Ma'ruf di Pilpres 2019.

Ma'ruf juga dirasa perlu memperjelas konteks kunjungannya ke pesantren-pesantren sebagai seorang cawapres. Sejauh ini, Adi melihat kunjungan Ma'ruf ke pesantren hanya dalam konteks sebagai seorang kiai dan Rais Aam.

"Politik 'pak kiai' adalah siapa yang paling sering datang dan bersilaturahmi," ujar Adi.

Kubu Jokowi, lanjut Adi, juga perlu membangun jejaring tim sukses di level pesantren. Hal ini karena di level pesantren kiai cenderung tidak mau terlibat jauh dalam urusan memfatwakan untuk memilih satu kandidat tertentu. Mereka lebih cenderung membebaskan para santrinya dalam pilihan politik.

"Di tengah kiai, ulama, dan para santri yang cenderung enggan berpolitik perlu dibangun jejaring dan pendekatan tertentu yang harus dilakukan oleh Ma'aruf," ujar Adi. (osc/sur)

Let's block ads! (Why?)



via CNN Indonesia https://ift.tt/2M1Mjg9
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Frss&max=3, then Send me an em


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT
Share:

Related Posts:

0 Comments:

Post a Comment